Hoaks Ratna, Jurus Playing Victim Menyerang Jokowi

  • Kamis, 04 Oktober 2018 - 19:06:33 WIB | Di Baca : 1651 Kali

 

SeRiau - Unggahan foto wajah lebam aktivis #2019GantiPresiden Ratna Sarumpaet mengejutkan publik pada Senin (1/10). Lebam di wajah Ratna itu disebut akibat penganiayaan yang dialaminya seusai menghadiri konferensi internasional di Bandung 21 September 2018 silam.

Para politisi yang sebagian besar dari kalangan oposisi lantas ramai-ramai mengomentari dan mengecam penganiayaan terhadap Ratna. Tak sedikit yang menjadikan ini bahan untuk menyerang pemerintah karena membiarkan warga negaranya dipukuli tanpa perlindungan.

Namun, keesokan harinya sejumlah fakta bermunculan, termasuk dari hasil penyelidikan kepolisian. Ratna disebut berada di Rumah Sakit kecantikan pada tanggal 21 September 2018 dan bukan sedang dipukuli. Ratna akhirnya mengakui bahwa kabar yang disebarkannya tersebut adalah berita bohong alias hoaks.

Pengamat Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidyatullah Adi Prayitno mengatakan isu-isu hoaks seperti yang dilontarkan Ratna memang cukup efektif untuk menarik simpati masyarakat dan menyerang penguasa. Alhasil, isu-isu ini masih menjadi daya tarik meski dampaknya bisa jadi bumerang penggunanya.

"Dalam kasus Ratna Sarumpaet hoaksnya itu ingin dijadikan sebagai upaya playing victim dengan harapan pihak yang dizalimi mendapatkan simpati publik dan menyerang penguasa yang sedang berkuasa. Bahwa yang dikriminalisasi adalah penguasa yang tidak mau dikritik," terang Adi kepada CNNIndonesia.com, Kamis (4/10).

Sebelum menyadari kebohongan Ratna, sejumlah politisi dari kubu oposisi memang sempat menjadikan itu sebagai senjata. Para politikus dari Gerindra, PKS, dan PAN berkomentar keras terhadap penganiayaan Ratna. Bahkan hoaks Ratna itu mendapat perhatian langsung dari calon presiden Prabowo Subianto dan politikus senior PAN Amien Rais. 

Meski tak langsung menunjuk hidung pemerintah, Prabowo menyebut apa yang dialami Ratna sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Sementara Fahri Hamzah menuntut Jokowi bersuara terkait apa yang dialami Ratna.

"Tapi ini ada seorang yang membawa nyala api demokrasi kita mengalami penganiayaan dan persekusi. Kita ingin presiden mengeluarkan sepatah kata tentang ini. Apabila dia tidak mampu mengeluarkan sepatah kata pun, maka dia durhaka terhadap ibu pertiwi dan dia tidak layak menjadi pemimpin negeri ini," kata Fahri. 

Hoaks Ratna, seperti dikatakan Adi, akhirnya menjelma jadi bumerang. Saat hoaks itu terbongkar, kubu Prabowo pun beramai-ramai meminta maaf kepada publik. Prabowo dalam permintaan maafnya mengaku teledor karena tidak mengklarifikasi lebih jauh soal kabar penganiayaan tersebut.

Tetapi tak ada yang menjamin terbongkarnya kebohongan Ratna bisa menghilangkan hoaks itu sendiri. Isu hoaks punya nilai strategis sendiri. 

Menurut Adi, isu hoaks seperti pemukulan Ratna ini jauh lebih cepat mendapatkan respons dan simpati dari publik ketimbang isu lain yang lebih substansial. Ini karena masyarakat cenderung lebih senang dengan isu-isu yang terkesan subjektif dan sederhana ketimbang isu-isu rumit dan 'melangit' seperti ketimpangan ekonomi, pelanggaran hak asasi manusia, isu politik, dan lainnya. 

Dalam kasus Prabowo cs yang ikut menyebarkan hoaks Ratna, Adi mengatakan hal itu disebabkan oleh ketidakpercayaan diri mereka untuk menyerang kubu petahana menggunakan isu-isu yang lebih substansial sehingga rentan terjebak hoaks.

"Sepertinya berangkat dari rasa tidak percaya diri makanya isu apapun ini, terkonfirmasi atau tidak, langsung diolah. Yang penting nyerang saja dulu," ujar Adi.

Kendati begitu, menurut Adi, pemanfaatan isu hoaks penganiayaan ini tidak mencerminkan bahwa kubu Prabowo kehabisan isu untuk menyerang lawannya. 

Sejumlah isu seperti the power of emak-emakyang kebutuhannya semakin mahal telah digunakan oleh kubu Prabowo-Sandi untuk meraih simpati publik. 

The power of emak-emak ingin menggambarkan lemahnya daya beli masyarakat akibat harga yang merangkak naik. Sandi cukup berhasil mengemas isu ekonomi itu menjadi enteng dan mudah dicerna. Hal inilah, menurut Adi yang mestinya terus didalami oleh kubu Prabowo-Sandi.

"Isu ekonomi ini cukup penting memang mestinya itu yang diperdalam bahwa banyak orang miskin banyak orang kelaparan itu yang harusnya dipertajam dong tinggal adu data dengan pemerintah yang mengklaim tingkat kemiskinan berkurang," tutur Adi.

Sementara itu, Pengamat Politik Universitas Negeri Jakarta Ubedilah Badrun menilai pemanfaatan isu hoaks ini sudah menjadi masalah kolektif bagi para politikus di negeri ini tak terkecuali kubu Prabowo-Sandi dan Jokowi-Ma'ruf Amin. 

"Mengapa itu mereka lakukan cara yang tidak berbasis pada isu substantif itu nampaknya mereka ya tadi masih meyakini bahwa cara efektif bukan karena gagasan ideal tapi menaikan citra dan merendahkan (downgrade) lawan politiknya. Lebih kepada politik subjektif jadi mengelola atau mengarahkan emosi publik," ujar dia.

Dalam kasus Prabowo-Sandi, Ubed mengatakan kubu Prabowo menggunakan isu hoaks pemukulan Ratna karena mereka terlalu percaya terhadap mantan juru kampanyenya itu. 

Ubed percaya Prabowo tidak mengetahui kebohongan Ratna. Kesalahan kubu Prabowo, kata Ubed, tidak melakukan klarifikasi lebih lanjut kepada sumber-sumber lain perihal pemukulan itu. 

"Konteksnya bukan karena memanfaatkan kebohongan Ratna tapi karena ketidaktahuan peristiwa yang sebenarnya dan sangat terlalu percaya bahwa Ratna adalah benar, jadi dia menggunakan itu sebagai kebenaran. Jadi lebih kepada memanfaatkan sebuah peristiwa yang dianggap kebenaran kemudian dijadikan peluru untuk memenangkan kontestasi," ujar Ubed.

Penegakan Hukum dan Sikap Kritis

Ubed menilai untuk mengakhiri penggunaan hoaks dalam meraih simpati publik, para elite politik hingga masyarakat harus memiliki sikap dan cara berpikir kritis. Dengan cara berpikir kritis seseorang tidak akan mudah untuk merespons dan mempertanyakan terlebih dahulu informasi yang diterimanya.

"Perlu dikembangkan critical thinking, berpikir kritis cara terbaik untuk mengakhiri hoaks. Hanya dengan itu. Sebab hoaks itu diterima disebarkan karena orang tidak memiliki nalar kritis," terang Ubed.

Sementara itu Adi menilai penegakan hukum terhadap para penyebar hoaks menjadi salah satu jalan dalam mengakhiri mata rantai penggunaan hoaks. Hal itu ditujukan untuk memberikan efek jera dan takut sehingga penggunaan hoaks setidaknya dapat diredam.

Setidaknya ada beberapa aturan terkait penyebaran berita bohong ini yang dapat digunakan untuk memberikan efek jera terhadap pelakunya yakni, UU No 1 tahun 1946 Pasal 14 dan Pasal 15 soal Penyebaran Berita Bohong dengan ancaman pidana maksimal 10 tahun penjara dan UU ITE Pasal 28 ayat 2 ancaman maksimal 6 penjara.

"Adili sesuai undang-undang yang ada, proses sesuai hukum karena efek hoaks ini adalah kebencian permusuhan. Makanya perlu diproses dan diantisipasi perlu ada tindakan bernuansa hukum, kalau prosesnya enggak jelas nanti akan ada orang yang melakukannya lagi," ujar Adi.

 

 


Sumber CNN Indonesia





Berita Terkait

Tulis Komentar